Oleh, Sopyan Haris. Sumber : Halaman Opini, Poultry Indonesia
Saat ini banyak kemitraan ayam broiler memiliki tenaga technical service yang berlatarbelakang pendidikan seorang sarjana peternakan atau dokter hewan. Apakah diperlukan lulusan S1 untuk menjalankan profesi tersebut?
Pertanyaan di atas saya yakin akan memunculkan perdebatan. Perdebatan yang timbul akibat perbedaan cara pandang. Satu cara pandang akan mengatakan "masih perlu" bahkan "penting" dan cara pandang lain akan mengatakan "tidak perlu". Pada tulisan kali ini, saya akan mencoba melihat dari sudut pandang "tidak perlu".
Saya mengenal beberapa Sarjana Peternakan bahkan Dokter Hewan yang kebetulan sedang bekerja menjadi Technical service di kemitraan ayam broiler yang sibuknya luar biasa. Sering saya jumpai beliau pulang hingga larut malam dengan wajah lusuh tanpa semangat, padahal pagi pun sudah berangkat lagi bekerja kembali.
Sempat saya bertanya dan diskusi, apa yang terjadi? Sekenanya beliau sharing bahwa banyak ayam di plasma binaannya yang selalu sakit dan beliau luar biasa letih karena harus transfer pakan dan cek persiapan kandang plasma lain untuk DOC in yang selalu saja tidak pernah siap kandangnya.
Usut punya usut aktivitas rutin utama yang bersangkutan adalah :
- Atur jadwal DOC in plasma
- Atur jadwal order pakan plasma
- Atur jadwal panen plasma
- Transfer out pakan sisa ke plasma lain
- Transfer in pakan plasma DOC in karena pakan terlambat datang
Dan aktivitas transfer pakan inilah yang benar-benar menyita waktu dan tenaga.
lalu saya bertanya :
- Kapan memeriksa persiapan kandang plasma sebelum DOC in? Jawabannya : ya cukup dicek lewat telfon.
- Kapan membina peternak untuk beternak dengan baik? Jawabannya : ya sambil jalan bila tidak terlalu "capek" transfer pakan.
- Kapan kontrol/monitoring kesehatan ayam? Jawabannya : ya tinggal lapor saja ke atasan, nanti "orang kesehatan" datang untuk cek.
- Bagaimana cara menghitung feed intake? Jawabannya : dihitung saja berapa sak pakan yang dihabiskan.
Fenomena seperti itu sempat saya lontarkan kepada "komandan" kemitraan sambil berkata bahwa cukup supir yang bisa baca dan tulis saja untuk menjadi technical service bila kesibukan utama hanya transfer pakan. Tidak perlu seorang Sarjana Peternakan atau Dokter Hewan bila kesibukannya hanya seperti itu.
Sebuah aktivitas yang tidak mencerminkan keilmuan bila waktu dan tenaga habis hanya fokus untuk transfer pakan. Memang benar bahwa kejadian transfer pakan yang terlalu sering akibat kondisi yang diluar prediksi (ayam sakit dan lain-lain). tetapi bila ilmu peternakan atau ilmu dokter hewan yang memiliki benar-benar diterapkan untuk membina plasma maka semestinya kasus ayam sakit bisa ditekan. Karena fakta yang banyak terjadi bahwa sakit yang muncul akibat infeksi bakterial atau viral yang dipicu oleh kesalahan penanganan pada masa-masa awal pemeliharaan.
ilmu Biologi Ayam, manajemen Budidaya, Manajemen Kesehatan Ayam, adalah ilmu-ilmu yang tentunya barang wajib bagi seseorang yang dikatakan sebagai Sarjana Peternakan. dari ilmu-ilmu tersebutlah yang seharusnya dioptimalkan dalam bidang pekerjaan. Dikombinasikan dengan skill manajerial, komunikasi dan negosiasi maka seharusnya proses membina, mengarahkan, dan persuasif ke peternak dan operator kandang agar dapat melakukan proses budidaya ayam dengan baik harapan hasil yang optimal.
Argumentasi bantahan yang mengatakan bahwa pembinaan sudah dilakukan tetapi operator atau peternak tetap "ngeyel" dengan caranya sendiri adalah sebuah argumentasi yang menunjukkan bahwa kapabilitas kita masih sangat dipertanyakan oleh peternak maupun operator kandang. Kita perlu evaluasi, apakah kita kurang percaya diri, atau kita kurang persuasif sehingga apa yang disampaikan dianggap sebagai angin lalu. Toh mereka sudah "beternak ayam" sebelum kita selesai kuliah di "perayaman".
Bila kelemahan-kelemahan itu selalu menjadi :sahabat sejati: bagi kita, maka "tak perlulah" seorang Sarjana Peternakan atau Dokter Hewan untuk menjadi technical service yang hanya sibuk transfer pakan. tetapi bila kelemahan-kelemahan itu dapat dihindari maka tentunya masih "sangat perlu" seorang Sarjana Peternakan dan Dokter Hewan di bidang "perayaman". Terlebih lagi bila kompetensi teknis tersebut dikombinasikan dengan kompetensi skill manajerial, komunikasi dan negosisasi, maka Sarjana Peternakan atau Dokter Hewan tidak identik sebagai "pesuruh" di Industri perunggasan. Kita masih butuh banyak Sarjana Peternakan dan Dokter Hewan untuk aktif berperan dalam dunia industri perunggasan yang ternyata "kue bisnis"nya sangat "cantik" dalam pasar Indonesia yang kini semakin dilirik oleh pelaku-pelaku industri perunggasan dari seluruh dunia.
Baca juga:
Advertisement